Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Qs : Annisa 135)
Didalam sebuah kamar mandi, kata seorang teman, orang boleh gampang berdendang seraya melepaskan pakaian satu demi satu, dan akhirnya telanjang…! Ia terus bersiul girang, merasa sehat dan nikmat. Yang demikian, menurut sang teman, memang kegiatan rekreatif. Ia tidak menuntut apa-apa, kecuali dorongan kesegaran jasmani dan menuruti panggilan naluri dasariah belaka. Namun, di hadapan sebuah “cermin ketelanjangan”, tentulah risikonya menjadi lain. Kendati hanya kaca semata kaca, pun tanpa sesiapa menyertainya, orang justru tak mudah melakukannya. Ini memang kegiatan introspektif. Karenanya menjadi sangat serius. Sebab, ia benar-benar menuntut seperangkat persyaratan asasi, sebutlah misalnya: kedewasaan, keberanian, kejujuran, dan ketulusan. Bukankah persyaratan-persyaratan dasar yang tampak remeh itu, ternyata di depan sebuah kenyataan hidup, tidak juga mudah untuk diluhurkan?
Sungguh, di muka kaca orang boleh jadi sungkan sambil menyembunyikan cacat diri dalam gumam keterpesonaannya. meski tak sanggup menahan geli, malah mungkin keputusasaan. Tetapi, di atas segala-galanya, boleh jadi, keterpesonaan itu hanyalah ekspresi paling palsu dari rasa minder dan rendah diri di hadapan kaca keterbukaan. Boleh jadi, keterpesonaan itu hanyalah bagian dari “hiburan semu” atas ketidak-utuhan wajah sang pemilik, memantul dari permukaan cermin yang juga tak utuh lagi. Boleh jadi, keterpesonaan ini hanyalah respons genit yang paling sportif, sambil mendemonstrasikan sikap besar kepala dan tinggi hati. Boleh jadi, keterpesonaan ini adalah buah dari kesadaran tentang “ego” yattg tak tertundukkan, memancar dari sikap mental “menang sendiri” dan “benar sendiri”. Alangkah memuakkan!
Rasanya, hidup menjadi serba tak enak, manakala orang mesti “dipaksa” membicarakan diri sendiri setelah terlebih dahulu “ditelanjangi”. Apa pulakah artinya?
“Hukum kehidupan memang selalu adil, meski mungkin tidak secara sengaja diperjuangkan,” ucap seorang khatib dalam sebuah khutbah ‘idul Adha di pinggiran Jakarta beberapa waktu lalu. “Di alam nyata,” lanjut Pak Khatib; “kau boleh berlaku curang kepada sesamamu, bahkan terhadap dirimu sendiri’ Tetapi., di alam sana, kecuranganmu terkuak langsung oleh Allah, tercatat lengkap oleh Raqib dan ‘Atid, terdata rapi oleh seluruh anggota badanmu (QS. 36 : 55).”
“Barangkali terlalu jauh membicarakan di alam sana, di alam nyata pun sesungguhnya kamu mampu mendapatkan keadilan itu,’ tutur Pak Khatib memberi harapan. “Sebab, dunia ini adalah cermin besar yang pernah kamu miliki. Cermin besar itu bisa memantulkan apa saja yang terjalani. Keadilan dan kecurangan dapat dengan mudah terkenali di dalamnya,kalau kamu rajin bercermin. Maka pandangilah, nikmatilah, dan milikilah, tetapi telitilah dengan penuh kewaspadaan dan kearifan. Sehingga, kamu tidak menjadi kurban dari apa yang kamu pandangi dan miliki itu. Pernahkah kamu mendengar nama Fir’aun, Hitler, Stalin, Pol Vots, Mossalline, Ferdinand, Marcos, Shah Pahlevy, Ziaul Haq, dan para diktator dunia lainnya yang gagal “menelanjangi” diri sendiri, lantas “memaksa” rakyatnya “menelanjangi” mereka lalu mengirimkan peti kematian buat mereka? Bukankah itu pertanda bahwa, barangsiapa tidak adil terhadap diri sendiri, dia bakal diadili oleh rakyat-nya, dan barangsiapa tidak ramah terhadap takyatnya, dia bakal “dimarahi” oleh Tuhannya? Maka, membicarakan diri sendiri memang berat, namun ia juga persyaratan. Syarat untuk tegak secara terhormat,” demikian papar Pak Khatib mengingatkan.
Hening sejenak, daun-daun nampak tengadah, seolah menyimak dengan khusuk khutbah ‘ldul Adlha di pagi yang mendung itu. Awan menyingkir terburu-buru, seakan ikhlas memberikan kesempatan cerah datang bergelayut di kaki langit. Indah sekali. “Kukatakan,” tegas Pak Khatib dengan nada tinggi, “dunia ini memang penuh konflik. Tetapi, jangan kamu membiarkan konflik berkepanjangan lalu membuat kamu terlelap dalam mimpi-mimpi yang memabukkan. Bila ini yang terjadi, maka yang akan muncul di benakmu adalah, “Anjing menggonggong kafilah terus berlalu.” Bagimu berlaku “logika kekuatan” dan bukan “kekuatan logika”. Kamu bakal melihat konflik itu dari siapa yang mengatakan, bukan apa yang dikatakan. Itulah ciri ketertutupan.”
Cermin Ketelanjangan
Lebih jauh, khatib muda itu bertanya sambil bola matanya berpendar-pendar menyapu jamaah ‘id yang memadat bagai kawanan domba di padang ilalang. “Mengapakah kamu diam saja menyaksikan ketidak-adilan ditengah-tengah masyarakat yang pelahan-lahan mulai menemukan bentuk terbaiknya untuk meledak? Mengapakah kamu tidak mau bicara sementara di depan matamu terjadi ke zhaliman politik, pembantaian etnis – agama, dan penghancuran harkat kemanusiaan antarsesama umat Tuhan yang kadang melibatkan orang-orang tak berdosa? Mengapakah hatimu masih juga batu mendengar lerit kepiluan tangan-tangan kecil tak berdaya yang merupakan kurban paling dahsyat dari krisis ekonomi bangsa, lantas membuat masa depan mereka menggapai-gapai dalam kegelapan, dan tak tahu lagi arah hendak di tuju, sementara kamu sibuk mengurusi kenaikan gaji para pejabat negara yang dikritik banyak orang sebagai manusia tak tahu diri itu?”
“Baiklah, jika kamu tidak mau bicara, maka saya yang bicara, dengarkanlah baik-baik!” tukasnya, gemas. “Konflik kepentingan yang kini kalian hadapi, persis seperti yang pemah penyiksa batin Nabi Musa as. Bahkan lebih hebat dan kalian,” demikian Pak Khatib bertamsil’ “Nabi Musa, menurut sahibul hikayat,” lanjutnya, “tak bisa menerima peristiwa yang tak adil terjadi di depan matanya. Karena itu, dia protes kepada Tuhan dan meminta keadilan-Nya. Tuhan lalu memerintahkan Nabi Musa bersembunyi di tepi sebuah sendang (mata air), seraya memperhatikan berbagai peristiwa yang akan terjadi di tempat itu. Syaratnya, Nabi Musa tidak boleh campur tangan’ apa Pun yang terjadi.”
“Dikisahkan, tuturnya meneruskan,” pada suatu siang yang terik, tatkala Nabi Musa telah asyik mengintip di balik sendang, tiba-tiba muncul seorang pemuda menghentikan kuda tunggangannya. Ia beristirahat di bawah pohon dan tertidur sekejap. Begitu bangun, ia langsung melompat ke atas kudanya dengan tergesa-gesa, sampai bungkusan yang di bawanya tertinggal. Tidak berapa lama kemudian, datang dua orang anak gembala. Meiihat bungkusan yang tak bertuan, langsung saja mereka bawa pergi. Mereka tak tahu apa sebetulnya isi bungkusan tersebut. Yang jelas, dilihat dari pemiliknya yang tampaknya putra saudagar kaya, pasti isinya benda-benda berharga. Nabi Musa hanya memandang diam, Ia tak berani menegur dan mencegah. Sebab, begitulah perjanjiannya dengan Tuhan. Karena itu, ia juga cuma terbelalak keheranan di saat seorang kakek berjalan terseok-seok ke tepi sendang, kemudian duduk di bawah pohon dengan tenang. Belum sempat memejamkan mata, pemuda tadi muncul dengan wajah berang. Ia melompat turun dari kudanya langsung menghardik si kakek, “Hai orang tua, kembalikan bungkusan milikku” Tentu saja si kakek tidak tahu menahu. Dan Nabi Musa bersedia menjadi saksi bahwa orang tua tersebut tidak mengambil bungkusan yang dimaksud. Sayang, ia tidak boleh menampakkan diri. Tetapi, pemuda hartawan itu tetap menuduh, si kakeklah yang menyembunyikan bungkusannya di suatu tempat untuk diambil kembali setelah ia pergi. Saking marah karena mahalnya isi bungkusan tadi, pemuda itu lepas tangan, lantas memukul si kakek sampai meninggal dunia seketika.
Kini, Nabi Musa tak mampu lagi menahan diri. Ia menggugat Tuhan. “sungguh, Engkau tidak adil wahai Tuhanku, seandainya Engkau tak berkenan menjelaskan peristiwa tadi kepadaku. Siapakah mereka sebenarnya? Kenapa orang tua yang tak bersalah itu harus menjadi kurban?
“Dengarkan baik-baik wahai Musa,” kata Allah. Pada zaman sebelum kamu, ada dua orang bersahabat yang bekerja sama membangun usaha. Sesudah kaya raya, malah mereka saling bersengketa. Karena, salah seorang dari mereka mempunyai sifat serakah dan pendengki. Orang ini lalu menyewa penjahat untuk membunuh teman usahanya. Setelah itu, ia merampas semua kekayaan milik bekas sahabatnya itu sampai anak-anaknya terlunta-lunta.” Karena kurang puas, Nabi Musa bertanya, “Apa hubungan mereka dengan peristiwa siang tadi? Jawab Tuhan “Ketahuilah wahai Musa! Kedua anak gembala yang mengambil bungkusan si pemuda adalah anak-anak pengusaha yang terbunuh tadi. Sedangkan bungkusan tersebut berisi permata berlian kepunyaan ayah mereka.
“Lantas, bagaimana dengan si kakek yang menjadi kurban itu?” tanya Nabi Musa. Allah berfirman, “Musa, camkanlah bahwa hukum-Ku sangat adil. Aku tak akan sewenang-wenang menghukum manusia tanpa sebab. Ketahuilah bahwa si kakek itu adalah penjahat yang disewa untuk membunuh ayah dari kedua anak yarim tadi.” Nabi Musa terkejut, tetapi ia masih mau bertanya, “Lalu, siapa pemuda itu?” Kata Allah, “Dialah putra dari pengusaha yang jahat itu. Kelak, setelah anaknya pulang tanpa membawa bungkusan berisi permata-berlian tadi, ia tak kuat menahan kekecewaannya, sampai terkena serangan jantung dan tewas seketika pula.” Musa terangguk-angguk paham. Ia tertunduk malu tatkala Tuhan mengingatkan, “Karena itulah wahai Musa, mulailah belajar bercermin agar kau mudah mengenali dirimu, dan mudah pula mengenali Tuhanmu. Sehingga, kamu tidak ragu-ragu menerima kebenaran tindakan-Ku, dan memahami keadilan keputusan-Ku.”
“Agaknya,” simpul Pak Khatib, “orang-orang iru adalah mereka yang tidak berani menelanjangi diri, bertahun-tahun sebelum akhimya ‘ditelanjangi’ oleh Tuhan di depan mata Nabi Musa as. Merekalah orang-orang yang selama ini lebih banyak menipu diri sendiri setelah puas menipu orang banyak, sambil dengan santai menikmati kemewahan hidup di atas keringat dan air mata orang lain. Sungguh mengerikan.”
“Apakah kamu mengira bahwa keridak-adilan yang diperbuat oleh orang-orang itu tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Allah? Apakah kamu menyangka bahwa Tuhan telah mati bersamaan dengan kematian nurani para penjahat kemanusiaan itu? Tidak. Sekali-kali janganlah kamu meragukan kehadiran Tuhan di sisi umatnya yang tertindas dan teraniaya. Tuhan akan selalu hidup di hati mereka yang bersih, di jiwa mereka yang jujur, dan di nurani mereka yang tulus. Tuhan pun akan selalu hidup melalui tangan-tangan mereka yang kurus tak terurus, melalui kekuatan air mata mereka yang diyatimkan, melalui kefasihan lidah mereka yang dimiskinkan. Di saat itulah mereka yang merasa senasib sepenanggungan akan berjuang bersama-sama untuk menuntut hak-hak mereka yang selama ini disia-siakan,” ingatnya lagi.
“Saudara!” Lanjutnya, “kepada mereka dengan kualifikasi serupa itu, hendakiah kamu berhati-hati . Karena, antara mereka dengan Tuhan hampir-hampir tak ada hijab. Segenap do’a mereka bakal tumbuh menjadi “rahmat” bagimu, jika kamu tampil sebagai Musa, ‘Isa, atau Muhammad buat mereka; seluruh keluhan mereka akan berubah menjadi “bencana” bagimu, kalau kamu hadir sebagai Fir’aun, Dajjal, atau Abu Jahal di hadapan mereka. Kalau sudah begini, pilihan elok sepenuhnya berpulang kepada dirimu sendiri. Karena, tatkala kecemasan kian mewabah, tatkala keputusasaan kian menjamur, saat itulah kata-kata tak lagi bermakna, pidato tak lagi berguna. Yang dibutuhkan adalahkerja nyata. Buat mereka, hidup hari ini bersama nasi putih dan singkong rebus, jauh lebih berharga daripada makan roti bakar dan keju bule, namun hanya ada dalam janji para pemimpinnya. Yang mereka butuhkan adalah kepastian masa depan untuk mencecapi hidup dengan secercah karunia yang mencerahkan. Kalau itu pun tak ada, maka janganlah kamu salahkan mereka jika mereka harus berteriak di jalanan: mengapakah kalian bicara banyak atas nama karni, tetapi justru kalian telantarkan kami?”
“Itulah sebabnya,’ Pak Khatib kembali menegaskan, “Nabi? Muhammad SAW bersabda bahwa, orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang paling banyak bermanfaat buat manusia. Dan amat yang paling utama di antara manusi adalah menggembirakan hati orang Mukmin, menghapus rasa lapar orang-orang miskin, membantu mengeluarkan kesulitan orang-orang lemah dan teraniaya. Manusia demikian, menurut Nabi, akan dikukuhkan kakinya oleh Allah diatas jembatan sirothal mustaqim menuju ke surga yang luasnya seluas langit dan bumi.’
Riam Sejarah
“Akan tetapi, saudara-saudara!” sambungnya, “di tengah kesulitan ekonomi kita dewasa ini, di tengah begitu banyak orang terlunta-lunta tanpa kepastian masa depan, di tengah ancaman perpecahan bangsa yang amat mengkhawatirkan itu, masih ada saja orang yang tega merampok uang rakyat dan membawanya pergi tanpa risi, masih ada saja orang yang tega memprovokasi massa untuk saling membunuh lalu menghilang tanpa merasa bersalah. Bank-bank dikuras BUMN-BUMN diperas, dan kita, rakyat kecil, mati di tengah optimisme para pemimpin bangsa yang bekeria berdasarkan estimasi di atas kertas.”
“Di tengah-tengah situasi sulit seperti itu, saudara-saudara,” tegas Pak Khatib, “saya menemukan kembali optimisme seorang janda tua yang mengharukan. Bayangkan di bawah tekanan kesulitan hidupnya, ia masih sempat bersikap “optimis” kepada Tuhannya. Ia ingin berkata “jujur” di hadapan Alla bahwa ia adalah hamba yang tahu berterima kasih, Ia juga ingin mengaku setulus-tuiusnya di pangkuan Ilahi bahwa sebenarnya sedang berjuang mengubah hidupnya. Maka, dengan susah payah, tetapi sangat optimis, ia mengundang orang datang mengadakan syukuran di rumahnya. Padahal saya tahu betul bahwa, mata pencairannya hanyalah berdagang kue keliling” kampung yang hasilnya juga tidak seberapa, ia hidup sendirian diJakarta tanpa sanak keluarga. Dan, ia sebetulnya cuma tinggal di emperan rumah orang lain atas kebaikan hati si tuan rumah. Sehingga, bagi saya sikap korektif dan tabu diri si janda ini, justru menjadi daya dukung yang amat besar atas optimismenya itu.”
“Hari itu,” demikian Pak Khatib menuturkan, “selepas shalat Jum’at, ia ingin mengadakan syukuran, entah untuk apa. Karena diundang, saya pun datang tepat pada waktunya. Tidak berapa lama kemudian, datangpula ketua RT, imam masjid, dan seorang takmirnya. Disusul dengan kehadiran si tuan rumah yang selama bertahun-tahun memberikan emperan rumahnya untuk ditempati si janda tua itu. Sudah setengah jam kami menunggu, tidak lagi ada yang datang, Serta merta saya bertanya, “Masih ada yang ditunggu, Bu?” Ibu itu menggeleng, “Tidak ada Ustazd! Yang saya undang cuma lima orang, termasuk ustazd, Maklum tempatnya sempit,” cerita Pak Khatib, menirukan sang Ibu yang janda itu. “Saya tersentuh,” ulas Pak Khatib, “Orang kecil ini masih juga ingin mengadakan syukuran kepada Allah dalam ketidakberdayaannya, sementara banyak orang lair, yang rumahnya besar-besar tidak pernah diinjak tetangganya untuk bersalaman sekalipun. Namun, akibat penasaran, saya bertanya, “Apa tujuan syukuran ini, Bu?”
“Begini, ustadz,” jawab si Ibu, Iembut. “Saya bersyukur kepada Allah karena mulai bulan depan, saya bisa mengontrak kamar ini, sebulan tiga belas ribu rupiah. Tadinya, tuan rumah menolak, tidak mau menerima uang saya. Tetapi, akhirnya tidak ia keberatan, sehingga utang budi saya tidak terlalu berat”, ucap sang Ibu seperti ditirukan pak Khatib yang enerjik itu. “Masya Allah,” jerit pak Khatib dengan nada kagum. ”Alangkah putih hari si janda tua itu. Alangkah besar jiwanya, untuk bertahan. Ia yang sebetulnya masih perlu disedekahi itu, tidak pula mau membebani orang lain, sementara di tempat lain, banyak konglomerat durjana yang hidupnya selalu menjadi beban negara. Dan juga tak kalah mulia hatinya adalah pemilik rumah kontrakan itu. Rupanya dia tidak perlu mau mengecewakan hati sang janda yang ingin terbebas dari perasaan “bergantung” kepada orang lain. Subhanallah!” ucap Pak Khatib menitikkan air mata.
Belakangan diketahui bahwa, uang yang diberikan oleh si Janda tua itu, tidak digunakan sesen pun oleh pemilik rumah kontrakan, kecuali digunakan untuk menyedekahkannya kembali seriap tahun manakala tiba hari raya ‘idul fitri. Mahasuci Allah yang Mahakaya!. Dalam hati, saya ikut kagum. Malah terbersit do’a, bila suatu hari nanti, saya bisa seperti bapak pemilik kontrakan itu.
“Saudara-saudara!” ucap pak Khatib hampir mengakhiri khutbahnya”, belajar dari perilaku pemuda kaya yang mengguncangkan nalar Nabi Musa as, serta teladan seorang bapak pemilik kontrakan yang nuraninya tercentuh atas nasib seorang janda tua, niscaya dengan mudah kita dapat menarik pelajaran dari dua cerita ini. Kisah pertama menggambarkan sikap manusia takabur, congkak, rakus, culas, dan mentang-mentang dari rias wajah manusia biadab; kisah kedua memperlihatkan sikap tawddlu” terbuka, tahu diri, tulus, dan dermawan dari riam sejarah manusia beradab. Konon, bapak pemilik kontrakan itu, tulus melakukan itu dengan niat ingin bersikap korektif dan introspektif terhadap dirinya sendiri. Dia mengaku lahir ke dunia fana ini tidak membawa sehelai benang pun, dan akan pergi ke pangkuan-Nya yang abadi, tanpa rnembawa harta sepeser pun; kecuali beberapa lapis kain kafan pembungkus badan. Dia tidak pernah ragu membantu dan menolong mereka yang membutuhkannya. Dia ternyata tidak kagum terhadap kekayaan dan orang kaya, tetapi kagum terhadap ilmu dan orang berilmu.”
Rupanya, orang ini belajar banyak dari pengalaman menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci beberapa tahun lalu. Berkat suasana ibadah haji yangmengesankan itulah, mengubah seluruh perjalanan hidupnya. Baginya, seperti dikatakaa Taufiq Ismail dalam pengantamya untuk buku “Orang Jawa Naik Haji”, gubahan H. Danarto, bahwa setiap tahun tidak kurang dari dua juta umat manusia bertafakkur di padang Arafah. di bawah cakar dan sengat matahai.Tetapi, mereka ikhlas menjalaninya. Manusia sebanyak itu merayap, di atas roda karet, jalan kaki, seperti hamparan karpet dari kaki langir ke kaki langit yang lain, beringsut-ingsut pelahan. Manusia bagai an:s benang halus di lautan karpet yang menggelombang laksana senjakala itu.
Dia membayangkat manusia di kejauhan bagaikan secarik benang pintalan yang beringsut dalam samudera benang dihamparan karpet yang bergerak dan Arafah menuju Mudzalifah, yang disebutnya-seperti Taufiq Ismail mengatakannya sebagai “inilah gladi resik menyongsong Hari Kiamat.” Seolah Allah Yang Mahabesar itu bertindak selaku sutradara untuk sebuah adegan massal. Adegan yang disebutnya sebagai yang paling kolosal yang tak terdapat di bagian manapun di dunia ini, yang tidak akan mampu digerakkan oleh partai manapun. Adegan inihanya bisa digerakkan dengan kehendak Allah.
Semata-mata Allah. Dan dalam peran di adegan itu, manusia luluh sebagai benang, berubah menjadi kapas.
Manusia yang kapas itu, menurutnya, sambil mengutip Taufiq, luluh dan lumat di hamparan terik padang Arafah, terseruk di mas’a dan tersungkur sujud, menangis, di atas pualam Masjidil Haram. Dalam adegan kolosal ini tidak ada dialog bijak bangsawan, kata mutiara sang terpelajar, jimat pusaka nenek moyang, senjata sakti hasil pertapa kesatria, kekuasaan ghaib dewa-dewa. Semuanya sirna. Dewa-dewa mampus. Gerombolan hikayat nenek moyang dan angan-angan fantastik mati sudah, ditusuk dengan talbiyah, dicincang dengan dzikir. Manusia yang kapas itu menyerukan talbiyab dalam kor panjang, “Laa syarikalak” : Dikau tanpa sekutu, Dikau tiada berbagi kuasa!
Manusia yang kapas itu, menemukan kesejatian dirinya dalam berihram, kata Komaruddin Hidayat (1999). Karena dengan ihram, kita dididik untuk melepaskan diri dari klaim-klaim superioritas, ketidaksamaan derajat, dan sebagainya. Kita berhadapan dengan Allah dalam keadaan polos, dan dengan kesadaran bahwa dunia ini memang tidak tebih dari panggung sandiwara yang ditaburi cahaya gemedapan. Tetapi, sebentar lagi cerita akan berakhir dan layar harus dirutup. Ketika itulah, manusia yang kapas itu mengadukan kesejatiannya bagaikan pengakuan Haji Danarto :
…tidak ada yang perlu bamba pertahankan di dunia ini,
suatu tempat yang tidak cocok,
sualu tempat yang bikin gerah,
peluh dan air mata bamba,
sama derasnya,
berleleban.
Ebit G. Ade,” ulas Pak Khatib, “mungkin terlampau artifisial tatkala merajut syairnya dalam bungkus metaforik yang tak mudah dijelaskan: ‘Kita mesti telanjang, dan benar-benar bersib, suci labir dan di dalam batin…., Tetapi, metafor ini menemukan wadahnya yang pas manakala orang menunaikan ibadah haji. Di sanalah “ketelanjangan” itu benar-benar menemukan momentumnya yang paling mengharukan. Sehingga, hakikat metafor ini sebenarnya bertajuk mutiara “kejujuran adalah bunga kehidupan”. Itulah sebabnya, orang yang tidak jujur terhadap diri sendiri, akan terantuk kesadarannya setelah ia menunaikan ibadah haji. Kesan-kesan ibadah haji akan mudah membuat manusia terharu, lalu bergegas mengadakan introspeksi, sekaligus kian sadar melakukan koreksi. Namun, koreksi tidaklah sekedar membuktikan kependekaran dalam merumuskan gugatan, tetapi juga mempersyaratkan adanya kesucian dan kebersihan hati, kejujuran dan ketulusan jiwa,” demikian Pak Khatib mengutip Prof. Dr. M. Amien Rais di ujung khutbahnya itu.
Mentari pagi mulai pelahan beranjak naik, dan Pak Khatib hendak menyudahi khutbahnya dengan berdo’a: “Ya, Allah ya Tuhan kami! Dalam syukur kehadirat-Nyu kami mengadu, dengan shalawat atas Rasul-Mu kami mengaku. Kini, kami oleng dihempas pertentangan sosial, lalu dalam kegamangan itu, tanpa berpikir panjang kami pun saling menelanjangi. Kami pernah diterpa keraguan, betulkah Engkau yang perkasa berlaku adil terhadap hamba-Mu? Betulkah Engkau yang bijaksana setia terhadap kebenaran-Mu? Mengapakah Engkau biarkan durjana mengumbar dosa, mengapakah Engkau biarkan fitnah menyebar nista. Ketika nama-Mu dinodai, langit-Mu tetap ramah. Padahal, nyaris kehabisan suara kami memekik.”
“Lihatlah ya, Tuhan!” ratapnya. “Tanah kami penuh bercak merah, musuh-Mu makin haus darah. Mereka merobek persatuan, mereka mengoyak kebersamaan. Mereka injak kemanusiaan, mereka tabur kekejaman. Dalam kondisi seperti itu, Tuhan, mengapakah gunung-Mu tak meletus juga, mengapakah badai-Mu tak berhembus jua? Memang benar Tuhan! Semula kami tak mengerti kearifan-Mu, semula kami tak sabar menunggu sabda-Mu. Namun, tiba-tiba saja Engkau bangkitkan orang-orang shaleh di antara kami. Mereka rela berkurban membela keagungan-Mu. Mereka ikhlas menderita mengawal panji-panji-Mu. Mereka berani menegakkan keadilan dan meluhurkan kebenaran dengan pena, mereka tegas menggebahkan kemunkaran dan menolak kebathilan dengan lisan, mereka siap melucuti kezhaliman dan mengenyahkan kebengisan dengan tangan.”
“Ya, Allah! Selamatkanlah kemulian negeri ini dengan berkah-Mu. Kukuhkan keutuhan bangsa ini dengan tauhid-Mu. Satukanlah masyarakat kami dengan cinta-Mu Dan ampunilah Tanah Air kami dengan maaf-Mu.”
Selesai berdo’a dan mengucapkan bacaan formal lainnya, ia pun turun dari mimbar. Sementara aku masih terpaku di sisi lapangan. Mengaguminya, sekaligus mendo’akannya. Rasanya, saya menemukan kembali seorang khatib yang santun, jemih, dan apa adanya. Dia berkata lurus dengan apa yang dia lihat dalam hidupnya. Mudah-mudahan demikianlah kiranya. Wallahu a’lam.*
Tulisan Dari : Hasan M. Noer
Sumber : Buku Agama Di Tengah Kemelut (Karya Dr. Komaruddin Hidayat et.al)